(Rumah Tradisional Jawa)
Rumah
Jawa lebih dari sekedar tempat tinggal. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan
moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam
satu kesatuan. Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin
berkembang sehingga timbullah tingkatan jenjang kedudukan antar manusia yang
berpengaruh kepada penampilan fisik rumah suatu keluarga. Lalu timbulah jati
diri arsitektur dalam masyarakat tersebut.
Seperti pada pernyataan Drs. Sukirman, MSn.(Dosen mata kuliah Arsitektur tradisional
, sekaligus Dosen mata kuliah Estetika UWMY) yang
di kutip dari materi kuliah bahwa Arsitektur tradisional jawa pada
dasarnya adalah arsitektur yang
dikelilingi oleh pagar, sebagaimana halnya di Bali dan daerah lainnya.
Rumah
tradisional Jawa masih bisa ditemukan pada Keraton Surakarta dan Keraton
Yogyakarta. berciri tropis sebagai upaya penyesuaian terhadap kondisi
lingkungan yang beriklim tropis.
Rumah
tradisional Jawa banyak memengaruhi rumah tradisional lainnya, diantaranya
rumah abu (bangunan yang didirikan oleh keluarga semarga dan digunakan sebagai
rumah sembahyang dan rumah tinggal untuk menghormati leluhur etnis Cina). Oleh
karena itu, struktur rumah abu memiliki banyak persamaan dengan rumah
tradisional Jawa dalam berbagai segi.
Pada bangunan Jawa, Struktur
yang digunakan merupakan rangka dengan kontruksi kayu, dinding ruangpun
biasanya hanya berfungsi sebagai dinding pembatas saja. Semua struktur yang ada
dibiarkan terlihat jelas, tanpa berusaha menutupinya . Dikutip dari pernyataan
(Ir. Prawatya Widyanto , Dosen Struktur Bangunan
UWMY)
(Kontruksi Rumah
Tradisional Jawa)
Di
bagian depan, rumah tradisional Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap
dan pendopo (pendhapa)
yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru)
yang merupakan tempat tuan rumah menyambut dan menerima tamu-tamunya.
Bentuk
pendopo umumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakkan
dengan sisi panjang ke arah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang ke arah
dalam tetapi melebar ke samping .
Dari artikel ini saya teringat Dosen mata
kuliah Bahasa Indonesia (YB.Margantoro) yang ternyata Arsitektur dan jurnalisme
tidak bisa dipisahkan. Melalui beliau saya mulai mengenal dunia kepenulisan dan
jurnalisme . Saya yakin dari belajar menulis,kelak saya bisa membuat
opini-opini public tentang Arsitektur sebagai alat bersosialisasi antara seorang
Arsitek dan masyarakat awam.
Versa Apriana,
Mahasiswa Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Widya MataramYogyakarta.(NIM:161411600)